Novel Entrok: Dua Perempuan dalam Perbedaan Keyakinan
Marni, ia dibentuk atas pemahaman dan keinginannya yang kuat. Perempuan Jawa buta huruf yang memuja leluhur dan keyakinan semasa kecilnya tentang Mbah Ibu Bumi Bapa Kuasa. Lewat keyakinannya ia memanjatkan doa-doa setiap malam duduk dibangku pohon asem depan rumah. Duduk tenang memejamkan mata lalu komat-kamit berharap agar kehidupannya lebih baik. Setiap perayaan hari kelahiran dan kematian ia membuat sesajen berupa tumpeng dan panggangan yang diletakkan disudut kamarnya.
Marni remaja hidup dengan keyakinan dan caranya sendiri untuk mempertahankan hidup ditengah-tengah kemiskinan. Bermodal keyakinan yang kuat dalam membanting tulang demi mengumpulkan uang untuk membeli entrok. Memutar otak demi bertahan hidup supaya tidak dipandang rendahan dikampungnya, ia menukar keringat dengan sepeser demi sepeser recehan yang ia kumpulkan setiap harinya.
Rahayu, anak Marni. Generasi yang hidup dizaman mulai maju, mengenal bangku sekolah dan ajaran tentang kebenaran soal keyakinan. Ia adalah pemeluk agama Tuhan yang taat dan menjunjung akal sehat. Tidak mempercayai dan menolak mengikuti keyakinan ibunya sendiri. Melalui pendidikan, ia menentang apa yang dilakukan ibunya selama ini karena tidak percaya Tuhan dan hanya memuja leluhur. Tetangga mereka, menganggap Marni sudah memelihara tuyul dan melakukan pesugihan karena nasib keluarganya yang semakin membaik.
Rahayu kecil dibentuk pada pemikiran dan lingkungan bahwa ibunya telah melakukan kesalahan. Namun, benarkah hal itu salah selama ibunya tidak menipu, mencuri dan membunuh orang lain? Bagi Rahayu, Marni adalah sosok pendosa karena keyakinan dan pekerjaannya mengumpulkan uang. Bagi Marni, Rahayu adalah seorang anak yang tidak memiliki jiwa karena tidak percaya pada ibunya. Mereka hidup dengan keyakinan masing-masing dan tidak memiliki titik temu. Mereka seperti berjalan di dua tebing tinggi yang berbeda dengan ego masing-masing.
Adakah yang salah jika mereka berbeda?
Kata entrok yang dipakai dalam judul berarti secarik kain yang menutupi dada perempuan atau disebut juga dengan bra. Entrok menjadi elemen penting bagi perempuan. Zaman dahulu, perempuan jarang memiliki entrok karena perempuan yang bekerja dipasar hanya diupahi barang dagangan. Entrok juga dianggap sebagai barang yang mewah bagi perempuan miskin. Oleh karenanya, bagi Marni memiliki entrok adalah harapan dan cara pandang untuk mengubah nasibnya demi mendapatkan uang dan kehidupan yang lebih baik.
Entrok adalah novel pertama Okky Madasari yang lahir atas kegelisahan dalam menipisnya toleransi dan maraknya kesewenang-wenangan. Penulis mengambil latar tempat di Magetan yang juga tempat kelahirannya. Ide novelnya ini lahir dari keluarga besarnya di Magetan, tempatnya pertama kali belajar tentang kesetaraan dan toleransi. Lewat ide cemerlangnya, ia mampu menyuguhkan konflik mengenai kayakinan yang disuguhkan dengan dinamika dan tantangan hidup yang terjadi pada masyarakat desa.
Marni dan Rahayu adalah dua generasi berbeda yang pada akhirnya mengerti ada titik singgung yang mengganggu kehidupan mereka. Mereka menjadi korban kesewenangan orang-orang yang memiliki kuasa.
Penulis menyuguhkan sebuah cerita yang terjadi pada tahun 1950 hingga 1990-an pada masa orde baru. Konflik yang terjadi dibumbui oleh orang-orang berseragam loreng, mereka menjadi gardu terdepan dalam mengamankan negara sekaligus menyengsarakan orang-orang lemah. Orang yang selalu benar karena bekerja untuk negara, mereka selalu mendapatkan uang dengan mudah tanpa mengeluarkan keringat dan banyak orang yang tidak memiliki kuasa dan kekuatan yang selalu saja salah, harus tunduk terhadap kemauan mereka hanya demi kehidupan yang aman dan terbebas dari masalah. Mereka dengan mudah melabeli PKI kepada siapa saja yang melawan aturan negara.
Melalui tuturan silih berganti antara ibu dan anak serta dibalut dengan cerita yang kompleks, penulis mampu membingkai semua lika-liku yang terjadi kedalam satu kesatuan yang runtut. Penulis yang juga menyuguhkan kejadian-kejadian masyarakat desa pasca tahun 1965 yang dibalut dengan ketidakadilan dan penindasan terhadap orang-orang lemah.
Pasca pembantaian orang-orang yang dituduh komunis di Indonesia setelah kejadian G30S/PKI menyisakan keprihatinan. Pasalnya, tidak hanya orang-orang yang mungkin terlibat PKI namun, orang-orang yang melawan negara dan tidak tunduk pada aturan negara bisa dicap PKI. Gejolak itu terjadi pada saat perubahan pemerintahan menjadi orde baru dan perubahan kepala negara. Melalui novel ini, pembaca akan menemukan ketidakadilan yang dilakukan orang-orang berseragam loreng lewat kehidupan yang digambarkan oleh tokoh Marni dan Rahayu.
Posting Komentar untuk "Novel Entrok: Dua Perempuan dalam Perbedaan Keyakinan"
Posting Komentar