Tangguhnya Sang Raja Kretek

Di zaman sebelum kemerdekaan, Nitisemito anak seorang kepala desa yang berarti seorang priyayi rendah. Ia berhasil mendirikan sebuah Pabrik Rokok Kretek yang diberi nama Tjap Bal Tiga di Kudus pada tahun 1914. Pabriknya berkembang pesat seiring kemajuan dan perbaikan yang dilakukan. Ia memiliki 10.000 buruh linting dengan memproduksi 10 juta batang rokok perhari. Produksinya dijual di pasar-pasar Jawa, Sumatera, Kalimantan hingga luar negeri.

Novel ini menceritakan jatuh bangunnya pabrik yang didirikan NV Nitisemito melalui cerita yang dipaparkan oleh warga bumiputra kelas tiga, Wirosoeseno seorang Jawa Tulen dan Filipus Rechterhand seorang Belanda Totok dari Batavia. Takdir mempertemukan mereka berdua untuk bekerja disebuah pabrik kretek. Bersama tokoh lain seperti Pak Soedjoko, Tuan Poolman, Karmain (menantu Nitisemito) dan beberapa tokoh lain yang ikut membuat ide, kreativitas dalam pengembangan dan kemajuan Pabrik Bal Tiga. Disana mereka berproses bersama menempa diri dan jatuh bangun ditengah isu-isu politik, perubahan zaman, perang kekuasaan, hingga pergantian kedudukan pengelola pabrik. Mereka berdua merasakan bagaimana kejayaan pabrik yang diikuti dengan penderian gedung bioskop sebagai perluasan dari pemasaran rokok Bal Tiga hingga perluasan pabrik di Jongenstraat.

Pada masa kedudukan Jepang, banyak bencana melanda dalam pabrik ini. Pecahnya Perag Dunia II yang membuat Jepang menduduki Indonesia sekaligus ikut mengintervensi pabrik Nitisemito digunakan sebagai pendeklarasian semboyan Nippon (cahaya, pelindung, pemimpin), hingga pabrik yang diduki Jepang sebagai markas militer dan naiknya bea cukai. Tidak hanya itu, terjadinya penangkapan kepada warga Belanda di sejumlah daerah (termasuk Kudus). Filipus dan Tuan Poolman ditangkap di pabrik dan disiksa oleh Jepang mengakibatkan kekecewaan bagi Wirosoesono. Hingga kematian Karmain yang amat disayangkan menurut Wirosoesono. Dan kekhawatiran Filipus terhadap anaknya Hans yang menjadi pasukan Belanda.

Menurut saya, novel ini menyuguhkan konflik yang sangat real pada masanya. Konflik yang beragam dan berbeda-beda sungguh menarik. Seperti melandanya wabah Flu Spanyol yang menggemparkan masyarakat, melaise, kebijakan cukai, perubahan kedudukan dalam pabrik, faktor internal keluarga Nitisemito, ditambah lagi kedudukan Jepang di Indonesia yang semakin membuat klimaksnya memuncak. Setiap percakapan antar tokoh terdengar sangat akrab dan memperlihatkan dinamika dari setiap topik pembicaraannya. Seperti pembicaraan tokoh-tokoh mengenai Nitisemito.

Saya pernah bertemu dengan Iksaka Banu pada acara yang diselenggarakan jurusan saya. Tepatnya tanggal 23 April 2018, acara kuliah tamu yang mengambil tema “Poskolonialitas dalam Sastra Sejarah Sebuah Refleksi Proses Kreatif”. Dalam acara tersebut beliau menuturkan bahwa, menulis novel yang berkaitan dengan sejarah itu tidak mudah karena sejarah selalu identik dengan pelafalan yang sulit, harus mengingat tahun dan tempat, “tetapi hal tersebut membuat tantangan tersendiri,” ujarnya.

Benar saja, mengingat tahun, tempat hingga nama tokoh yang susah karena tidak semua orang bisa mengingat atau melafalkannya dengan baik juga menjadi kesusuhan tersendiri bagi saya. Namun, sekali lagi novel ini sangat layak dibaca karena beliau mampu memberikan cerita dengan memainkan perasaan pembaca melalui dinamika-dinamika konflik dan penyelesain yang terjadi.

Banyaknya konflik yang terjadi justru tidak membuat kita sebagai pembaca bosan. Saya justru merasa penasaran dalam bab-bab selanjutnya. Meskipun ada penyelesaian konflik yang menurut saya terjadi begitu cepat sehingga seperti mematahkan harapan saya.

Ada hal yang ganjal dalam subjektif saya, seperti tidak dijelaskannya nasib Hans lebih lanjut yang justru membuat saya begitu penasaran.

Melalui novel ini kita bisa belajar semangat pantang menyerah, kekuatan hidup dalam sosok Nitisemito. Selain itu kedua tokoh Wirosoesono dan Filipus yang juga menjadi sosok tangguh, penuh kretivitas dan semangat perjuangan yang tinggi, patut untuk diapresiasi.


Posting Komentar untuk "Tangguhnya Sang Raja Kretek"