Perempuan dalam Bingkai Politik Seksualitas
Tanggal 30 September menjadi saksi kelam atas dibunuhnya para jenderal-jenderal yang mayatnya dibuang ke Lubang Buaya. Pasca peristiwa itu pula, negara menuduh PKI sebagai dalang atas matinya para jenderal. Berpuluh-puluh ribu orang ditangkap dalam keadaan yang mengenaskan dan mereka dituduh terlibat dalam peristiwa 65’. Tuduhan sembarangan itu muncul terutama bagi kaum perempuan sebagai dalang pembunuhan para jenderal. Diceritakan, mereka menari-nari seksual dengan telanjang, memotong penis para jenderal, mencungkil matanya, hingga para jenderal mati dan jasadnya dibuang ke Lubang Buaya.
Buku ini berkisah tentang sepuluh cerita perempuan-perempuan yang lolos dari maut, selamat dari penjara, pemerkosaan massal, penyiksaan keji dan perbudakaan seksual yang tak berakhir bahkan ketika mereka sudah dibebaskan dari tahanan. Para perempuan-perempuan yang dituduh ini adalah anggota Gerwani (Gerakan Wanita Indonesia), BTI (Barisan Tani Indonesia) dan para istri anggota PKI. Mereka mendapat julukan perempuan eks-tapol 65’ setelah mereka dibebaskan, korban dan para anggota keluarga korban hidup dalam ketakutan karena mitos-mitos yang dituduhkan.
Seperti yang dikisahkan Yanti dalam buku ini. Ketika ditangkap, ia berumur 14 tahun dan masih bersekolah di SMP. Suatu hari ketika ia mengikuti pelatihan sukarelawan di kampung Lubang Buaya, Jakarta Timur, suara teriakan dan tembakan gencar membabi-buta dihamburkan hingga ke langit. Waktu pagi buta, sepasukan tentara serentak menggerebek barak penginapannya. Ia bersama perempuan-perempuan lainnya digiring menuju tanah lapang. Mereka disuruh untuk bertelanjang, beberapa ada yang dipukuli dengan popor bedil dan disiksa hinga berdarah.
Apa yang dikisahkan Yanti adalah peristiwa sedih yang akan menguras emosi. Bagaimana mungkin martabat dan kehormatan perempuan direnggut hanya karena tuduhan yang tidak berdasar. Kasusnya tidak pernah disidangkan, ia harus dipenjara dan keluarganya diasingkan oleh masyarakat. Yanti dan kesembilan perempuan lainnya juga memiliki cerita yang hampir sama. Ia digiring kesebuah barak kosong, alasan ia diperiksa hanya dalih kosong baginya. Ujung-ujungnya ia menerima cacian maki dan pelampiasaan nafsu aniaya para tentara.
Hidupnya dipenjara sekitar sepuluh tahun lebih dan tetap mendapatkan pengucilan dari masyarakat, bahkan ia harus tetap menderita karena dijadikan budak seks dan pembantu rumah tangga salah seorang tentara ketika ia baru saja dibebaskan. Yanti adalah salah satu pemuda belia yang masa depannya telah hancur dan ia sesungguhnya tidak tau apa yang terjadi pada peristiwa tahun 65’. Ia hanya ingin bercerita kepada keluarga para jenderal bahwa tuduhan yang diedarkan dimasyarakat itu tidak benar.
“Saya hanya mempunyai satu keinginan sebelum saya mati. Yaitu saya ingin bertemu keluarga almarhum jenderal-jenderal itu. Saya hanya mau menceritakan kepada mereka, bahwa saya bukanlah salah seorang di antara para pembunuh jenderal apalagi penyayat-nyayat penis mereka.” –Yanti (halaman 85)
Pembaca akan dibuat mengernyitkan dahi ketika membaca sepuluh kisah perempuan eks-tapol 65’. Buku yang ditulis oleh Ita Fatia Nadia menggunakan metode oral history dalam merekam pengalaman kekerasan ibu-ibu eks-tapol 65’ dan keluarga mereka. Melalui penuturan para korban, penulis ingin menyingkap struktur ketidakadilan kekuasaan dan politik kekerasan yang membuat jatuhnya beribu-ribu korban. Mungkin negara sering abai terhadap peristiwa-peristiwa kekerasan yang dilakukannya, padahal menyelesaikan sebuah perkara bukan melawannya dengan kekerasan. Maka, tidak mengherankan jika kekerasan yang dilakukan akan menyebabkan kekerasan berulang-ulang di masa depan.
Membaca cerita-cerita para korban tentunya akan berbeda sekali dengan buku-buku sejarah tahun 65’. Kita justru akan terbawa suasana kekejaman yang dilakukan negara, bagaimana negara dengan seenaknya mencap para korban sebagai PKI, mengacak-acak organ perempuan, hingga ketakutan dan kekhawatiran yang dirasakan para korban ketika keluar dari penjara justru semakin menjadi-jadi. Kita mungkin tidak kuasa, jika hal tersebut terjadi pada kita atau keluarga kita. Tapi, kita patut peduli jika negara membuat bingkai politik seksualitas kembali lewat jalur kekerasan.
Buku ini berkisah tentang sepuluh cerita perempuan-perempuan yang lolos dari maut, selamat dari penjara, pemerkosaan massal, penyiksaan keji dan perbudakaan seksual yang tak berakhir bahkan ketika mereka sudah dibebaskan dari tahanan. Para perempuan-perempuan yang dituduh ini adalah anggota Gerwani (Gerakan Wanita Indonesia), BTI (Barisan Tani Indonesia) dan para istri anggota PKI. Mereka mendapat julukan perempuan eks-tapol 65’ setelah mereka dibebaskan, korban dan para anggota keluarga korban hidup dalam ketakutan karena mitos-mitos yang dituduhkan.
Seperti yang dikisahkan Yanti dalam buku ini. Ketika ditangkap, ia berumur 14 tahun dan masih bersekolah di SMP. Suatu hari ketika ia mengikuti pelatihan sukarelawan di kampung Lubang Buaya, Jakarta Timur, suara teriakan dan tembakan gencar membabi-buta dihamburkan hingga ke langit. Waktu pagi buta, sepasukan tentara serentak menggerebek barak penginapannya. Ia bersama perempuan-perempuan lainnya digiring menuju tanah lapang. Mereka disuruh untuk bertelanjang, beberapa ada yang dipukuli dengan popor bedil dan disiksa hinga berdarah.
Apa yang dikisahkan Yanti adalah peristiwa sedih yang akan menguras emosi. Bagaimana mungkin martabat dan kehormatan perempuan direnggut hanya karena tuduhan yang tidak berdasar. Kasusnya tidak pernah disidangkan, ia harus dipenjara dan keluarganya diasingkan oleh masyarakat. Yanti dan kesembilan perempuan lainnya juga memiliki cerita yang hampir sama. Ia digiring kesebuah barak kosong, alasan ia diperiksa hanya dalih kosong baginya. Ujung-ujungnya ia menerima cacian maki dan pelampiasaan nafsu aniaya para tentara.
Hidupnya dipenjara sekitar sepuluh tahun lebih dan tetap mendapatkan pengucilan dari masyarakat, bahkan ia harus tetap menderita karena dijadikan budak seks dan pembantu rumah tangga salah seorang tentara ketika ia baru saja dibebaskan. Yanti adalah salah satu pemuda belia yang masa depannya telah hancur dan ia sesungguhnya tidak tau apa yang terjadi pada peristiwa tahun 65’. Ia hanya ingin bercerita kepada keluarga para jenderal bahwa tuduhan yang diedarkan dimasyarakat itu tidak benar.
“Saya hanya mempunyai satu keinginan sebelum saya mati. Yaitu saya ingin bertemu keluarga almarhum jenderal-jenderal itu. Saya hanya mau menceritakan kepada mereka, bahwa saya bukanlah salah seorang di antara para pembunuh jenderal apalagi penyayat-nyayat penis mereka.” –Yanti (halaman 85)
Pembaca akan dibuat mengernyitkan dahi ketika membaca sepuluh kisah perempuan eks-tapol 65’. Buku yang ditulis oleh Ita Fatia Nadia menggunakan metode oral history dalam merekam pengalaman kekerasan ibu-ibu eks-tapol 65’ dan keluarga mereka. Melalui penuturan para korban, penulis ingin menyingkap struktur ketidakadilan kekuasaan dan politik kekerasan yang membuat jatuhnya beribu-ribu korban. Mungkin negara sering abai terhadap peristiwa-peristiwa kekerasan yang dilakukannya, padahal menyelesaikan sebuah perkara bukan melawannya dengan kekerasan. Maka, tidak mengherankan jika kekerasan yang dilakukan akan menyebabkan kekerasan berulang-ulang di masa depan.
Membaca cerita-cerita para korban tentunya akan berbeda sekali dengan buku-buku sejarah tahun 65’. Kita justru akan terbawa suasana kekejaman yang dilakukan negara, bagaimana negara dengan seenaknya mencap para korban sebagai PKI, mengacak-acak organ perempuan, hingga ketakutan dan kekhawatiran yang dirasakan para korban ketika keluar dari penjara justru semakin menjadi-jadi. Kita mungkin tidak kuasa, jika hal tersebut terjadi pada kita atau keluarga kita. Tapi, kita patut peduli jika negara membuat bingkai politik seksualitas kembali lewat jalur kekerasan.
Posting Komentar untuk "Perempuan dalam Bingkai Politik Seksualitas"
Posting Komentar